12.4.17

Hidup Mewah

Suatu waktu Bapak atau Ibu saya pernah bilang (saya lupa Bapak atau Ibu yang bilang), "Kalau kita lagi gak punya uang, jangan bilang kalau kita miskin.". Saya lupa alasannya apa, pokoknya kalau terucap dari bibir saya, "Aduh, Mbak Mona lagi miskin nih.." kesan yang saya ingat adalah saya perlu siap menerima sambitan emak babe. Tentu saja saya tidak disambit beneran. Bapak Ibu saya tidak suka nyambit orang. Paling mendapat tatapan tajam (dari emak) plus sedikit ceramah (dari babe). Hehehe..

Kembali ke persoalan "miskin". Apa ya yang membuat saya teringat soal ini? *berpikir keras*

Oh iya, saya sedang berpikir tentang kemewahan atau kalau dalam Bahasa Inggris (biar kelihatan millenial), 'priviledge'. Saya baru ngeh kalau saya selama ini hidup dalam kemewahan.

  • Saya masih punya uang. Untuk beli makanan, air minum, mainan, buku, nonton di bioskop, belanja online, bayar sewa apartemen, beli skincare di "Toko Badan", sesekali bisa bayar makan rebusan sayur dan jamur di restoran, atau bisa mendadak beli tiket pesawat untuk melancong. 
  • Saya masih punya 'rumah'. Biarpun cuma sewa apartemen seluas 30 m2, itupun berdua sama adik saya. Tapi ini apartemen nyaman aja tuh. Saya tidur di kasur sendiri, punya kamar sendiri. Ada internet dan TV kabel pula.
  • Saya masih kerja. Kerjanya juga bukan yang kerja fisik. Saya masih bisa menyombongkan diri untuk bilang, "Aset gw di sini nih, cuy!" (sambil noyorin jidat sendiri). 
  • Saya masih bisa pergi ke mana-mana. Mulai naik KRL, angkot, bus kota, kereta jarak jauh, sampai pesawat terbang. 
  • Saya masih bisa beragama. Bisa kepikiran kalau belum shalat misalnya. Bisa shaum dan punya makanan untuk berbuka. Bisa bayar zakat. Bisa nyicil buat kurban. Bisa naik haji. 
  • Saya masih bisa dianggap warga negara. Punya KTP. Bisa milih walikota, gubernur, presiden, sampai anggota DPR dan DPRD. Bisa menyalonkan diri juga kalau mau.
  • Ini yang menurut saya paling menyenangkan. Saya masih bisa belajar. Masih bisa menikmati belajar dengan tenang. Belajar dengan perut terisi. Belajar tanpa mikir uang SPP atau masa depan. Belajar tanpa mikir konsekuensi. Ditambah, pekerjaan saya saat ini kebetulan sering memaksa saya (mau gak mau) belajar juga.

Selain hal-hal yang disebut di atas, saya juga masih bisa mengeluh. Ngeluh tentang cuaca, tentang gaji yang gak pernah cukup, tentang KRL yang kayak pepesan ikan teri, tentang macet (keluhan klasik, harus disebut dong), tentang pekerjaan yang tak kunjung usai, tentang kantor yang berantakan, tentang sewa apartemen yang mahal, tentang harga-harga apapun yang makin mahal, tentang masa depan, tentang masa lalu, tentang masa kini, semua deh.

Ya ya ya.. Apa yang saya jelaskan di atas masih bisa disangkal, didebat, atau dibahas lebih lanjut. Tapi intinya, kesimpulan saya malam ini (karena di malam lain mungkin kesimpulannya akan berbeda) adalah saya ini orang kaya. Hidup dalam kemewahan. Bapak dan Ibu saya ada benarnya. Saya gak berhak untuk bilang miskin. Kalau saya masih berani untuk bilang "Lagi miskin nih..", secara tidak langsung saya mengolok-olok mereka yang hidupnya tidak mendapatkan kemewahan seperti saya. Kurang ajar banget saya kalau masih begitu.

Lain kali, kalau lagi tidak punya uang, ya bilang saja, "Gak punya uang nih..". Mudah, kan! Kan! Kan?